Blog ini berisi tulisan dan artikel menarik seputar Pengelolaan Sumber Daya Manusia, Psikologi serta Dunia Kerja.
Mari berbagi ilmu dan pengalaman anda di sini!

Thursday, September 24, 2015

Masih haruskah masuk kuliah?

Beberapa hari yang lalu diberitakan ada sebuah Yayasan pendidikan di Jakarta melakukan wisuda massal kepada ratusan mahasiswanya. Namun setelah dilakukan wawancara kepada beberapa mahasiswanya diketahui bahwa mereka tidak tahu mereka melakukan proses pendidikan di kampus apa, nilai IPK nya yang belum jelas bahkan mata kuliah yang dipelajari pun tidak jelas. Bagaimana bisa terjadi seperti ini?
Beberapa mahasiswa mengaku pembelajaran dilakukan secara online dan kemarin hanya melakukan selebrasi wisuda. Memang pembelajaran jarak jauh merupakan hal yang legal namun tentu harus memiliki standard yang jelas dari Dikti sehingga seluruh progres pembelajaran mahasiswa harus dapat dimonitor oleh setiap individu. Kegiatan pembelajaran yang fiktif seperti ini memungkinkan bagi setiap orang untuk melakukan jual-beli ijazah.

Prosesi Wisuda Kuliah Abal-abal

Sangat disayangkan bila makna pembelajaran sudah dianggap sepele oleh sebagian orang sehingga kualitas pendidikan di Indonesia semakin menurun. Perlu adanya definisi ulang mengenai prinsip dasar pendidikan tinggi di Indonesia. Saat ini proses pendidikan dianggap sebagai hal yang tidak penting sehingga pelaksanaannya dianggap sebagai formalitas saja. Kebanyakan orang seperti ini menganggap bahwa ijazah adalah hal yang paling utama. Target oriented but forgetting the process.

Perlu dikaji ulang mengapa titel, dalam hal ini ijazah, lebih penting bagi mereka dari pada ilmu itu sendiri. Kebanyakan orang di Indonesia senang memiliki gelar di belakang namanya. Entah itu bagian dari prestige atau memang budaya kita saat ini yang mendesak mereka untuk memiliki titel tersebut. Kebanyakan perusahaan saat ini memiliki persyaratan harus menyandang gelar sarjana tertentu agar dapat bekerja di perusahaannya. Belum lagi rekrutmen pegawai negeri sipil, atau kenaikan golongan yang seringkali mensyaratkan adanya ijazah untuk proses administrasinya.  Bagi orang-orang tertentu hal ini jadi ladang bisnis, dengan memperjualbelikan ijazah, bagi sebagian orang lainnya menjadi shortcut agar dapat mendapatkan gelar dengan mudah dan cepat.

Padahal tingkat pengangguran di Indonesia semakin lama semakin bertambah, di tahun 2015 ini terdapat 5,8 persen dari tenaga kerja di Indonesia yang menganggur (Badan Pusat Statistik, 2015) atau kurang lebih 7,5 juta orang. Kebutuhan untuk bekerja di perusahaan orang lain masih menjadi mimpi kebanyakan orang di Indonesia. Penilaian masyarakat tentang orang yang 'bekerja' lebih positif dari pada tentang orang yang menciptakan lapangan kerja sendiri, atau berwirausaha. Budaya berwirausaha atau menciptakan peluang sendiri memang dirasakan belum kuat mewarnai perekonomian di Indonesia. Tak heran, kebutuhan memegang ijazah menjadi sangat besar bagi setiap orang. Masyarakat menganggap dengan berkuliah dan memegang ijazah, hal tersebut dapat memperbesar peluang untuk sukses untuk memiliki pekerjaan yang baik. Padahal, semakin besar orang berlomba-lomba bekerja, tanpa adanya peningkatan kebutuhan tenaga kerja, semakin sedikit pula peluang untuk bekerja di Indonesia.

Beberapa minggu yang lalu saya sempat menonton film dokumenter di HBO berjudul Ivory Tower. Film ini menceritakan tentang bagaimana budaya perkuliahan di Amerika mempengaruhi sebagian besar remajanya saat ini. Ternyata biaya kuliah yang semakin lama semakin mahal tidak serta merta merubah kesempatan para fresh graduate untuk dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Bahkan, untuk segelintir golongan yang memiliki tujuan tertentu, gelar tidak dianggap sebagai suatu hal yang paling penting lagi. Lihat bagaimana orang-orang yang Drop Out dari kampus malah bisa menjadi semakin sukses dengan kemampuannya sendiri. Just mention it : Bill Gates dengan microsoft, Steve Jobs dengan Apple, atau bahkan Mark Zuckerberg dengan Facebook.

Bill Gates

Namun tentu anggapan seperti ini tidak bisa ditelan mentah-mentah, karena bagaimanapun juga, mereka yang sukses dan decided to leave college is extraordinary person. Mereka memiliki visi dalam hidupnya dan yakin dapat meraih mimpinya itu meskipun harus mengorbankan sesuatu hal yang sangat penting, yaitu kuliah.

Di Indonesia sendiri, contoh sosok yang sukses tanpa berkuliah dapat kita temukan. Sebut saja Bob Sadino, atau Andri Wongso. Tapi apakah semua orang bisa sehebat mereka hanya dengan meninggalkan kuliah? Tentu saja perlu tekad yang kuat dan pengorbanan yang bahkan jauh lebih besar dari pada orang-orang yang berkuliah. Semua itu hanya mampu diraih oleh extraordinary people yang mampu bangkit dan tumbuh tanpa harus 'dipupuk' oleh pendidikan formal di kuliah.

Jadi masih haruskah masuk kuliah?
Hal tersebut tentu kembali ke masing-masing individu. Sebelum melaksanakan kuliah dan lulus dari SMA, setiap siswa wajib memiliki visi hidup yang jelas mau ke mana ia akan memilih jalan hidupnya dan apa passion yang akan ia jalani sehingga apapun yang akan ia lakukan di masa depan tidak akan mengalami kebuntuan, and even when that happens, he will eventually get the way out of it because he has a clear path. 

Apapun jalan yang akan kita ambil, baik itu kuliah atau memutuskan untuk tidak kuliah, atau bahkan mengambil 'shortcut' seperti kasus kuliah abal-abal yang saya ceritakan di atas, semua hal tersebut harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Kuliah bukanlah satu-satunya jalan untuk mencapai kesuksesan, juga dengan tidak berkuliah, jangan sampai hal tersebut menutup jalan yang seharusnya luas terbuka bagi kita untuk mencapai visi hidup yang kita inginkan.

Hal yang paling penting dari sebuah pendidikan adalah bagaimana ilmu yang kita pelajari dapat bermanfaat bagi kita dan orang-orang di sekeliling kita, bukan ijazah maupun gelar yang hanya menjadi hiasan di belakang nama.